Entri Populer

Senin, 14 Februari 2011

Diangkut Mobil Lapis Baja, Ba’asyir Protes







jakarta - beritatercepat
Abu Bakar Ba'asyir, terdakwa kasus terorisme, protes keras. Sebab, setiap akan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dia selalu diangkut menggunakan kendaraan lapis baja jenis Barracuda.

Protes Ba’asyir ini disampaikan melalui Direktur Media Center Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), Son Hadi, kepada wartawan menjelang sidang pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Ba’asyir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sidang diagendakan berlangsung pagi ini, Senin, 14 Februari 2011, pukul 09.00 WIB. Ba’asyir merupakan pimpinan JAT.

Menurut Son Hadi, penggunaan kendaraan lapis baja untuk antar jemput Ba’asyir terlalu berlebihan. Seharusnya, menurut dia, Ba'asyir cukup memakai mobil kejaksaan, mengingat pengasuh pesantren Al Mukmin Ngruki, Jawa Tengah ini berstatus tahanan kejaksaan.

"Ustad Abu nggak bakal lari kok," kata Son Hadi. “Makanya beliau protes keras.”

Son Hadi mengetahui kalau penggunaan kendaraan lapis baja itu demi terpenuhinya faktor keamanan. Meski demikian, dia tetap sulit memahami alasan penggunaan Barracuda itu. “Masalahnya, kendaraan itu (Barracuda) tinggi. Jadi, beliau kesusahan (menaikinya)," ujarnya. (tian43a)

Menggelandang di Saudi, 306 WNI Dipulangkan Proses ini bisa cukup lama







jakarta - beritatercepat
Pemerintah Indonesia hari ini memulangkan lebih dari 300 warga negara Indonesia (WNI) penghuni kolong jembatan di Jeddah, Arab Saudi. Kebanyakan dari mereka tersangkut masalah hukum karena izin tinggal sudah habis.
Menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri, 306 WNI akan mendarat siang ini di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Mereka terdiri atas 241 tenaga kerja wanita (TKW), 27 anak-anak, dan 38 bayi.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Kusuma Habir, mengatakan bahwa ini adalah langkah pertama untuk mengurangi jumlah WNI yang tinggal di kolong jembatan.
Kusuma tidak mengungkapkan berapa banyak WNI yang menggelandang di kolong jembatan. Namun, menurut dia, proses pemulangan seluruh WNI bisa memakan waktu cukup lama, karena mereka terus saja berdatangan ke kolong jembatan.

“Saat ini, kami sedang berkonsultasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk mendapatkan solusi yang tuntas mengenai permasalahan ini. Sementara ini, kami berusaha memulangkan mereka satu per satu,” ujar Kusuma saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Senin 14 Februari 2011 .

Solusi yang dimaksud, Kusuma menjelaskan, adalah upaya untuk menanggulangi dan mencegah para WNI kembali menghuni kolong jembatan di Arab Saudi. Gelombang kedua pemulangan WNI direncanakan pada Kamis, 17 Februari 2011.

Berdasarkan laporan dari Kemlu, para TKW tersebut adalah para overstayer atau yang telah habis izin tinggalnya di negara tersebut, namun tidak memperpanjangnya. Para TKI kebanyakan adalah para pelarian dari rumah majikannya karena beberapa hal, kemudian mereka sengaja berkumpul di kolong jembatan Jeddah untuk dipulangkan.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang lari dari majikan antara lain disebabkan tidak betah bekerja karena alasan tidak cocok, beban kerja yang cukup berat, gaji tidak dibayar atau mendapat perlakuan yang tidak baik seperti pelecehan, penganiayaan dan lain sebagainya.

Sindikat kriminal juga berperan dalam mempengaruhi para TKI yang bekerja secara prosedural dengan mengiming-imingi gaji lebih besar. Mereka akhirnya berpindah majikan tanpa menyadari risiko status keimigrasian yang sangat merugikan TKI tersebut.
Para sindikat ini juga mengincar para eks jemaah umroh yang kemudian bekerja secara ilegal. “Di antara WNI yang overstayers tersebut, 20 persen merupakan eks jemaah umroh yang bekerja secara ilegal,” demikian pernyataan Kemlu. (tian43a)

Soal Pembubaran Ormas, FPI Ancam Presiden?







jakarta - beritatercepat
Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar aparat penegak hukum tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang melanggar hukum berbuntut panjang.

Pada saat peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2011, Presiden SBY menyatakan, "Kepada kelompok yang terbukti melanggar hukum, melakukan kekerasan, dan meresahkan masyarakat, kepada para penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah dan legal, untuk, jika perlu, membubarkan."
Menanggapi pernyataan SBY itu, Kepala Bidang Advokasi yang sekaligus juga Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), Munarman, menegaskan bahwa akar permasalahan bukanlah karena keberadaan ormas melainkan sikap pemerintah terhadap jemaah Ahmadiyah yang melanggar undang-undang.

Munarman pun menegaskan jika isu pembubaran ormas terus dihembuskan Presiden, maka umat dan ormas Islam siap mem-Ben Ali-kan [Presiden Tunisia] Presiden. "Karena ternyata dia lebih memilih berada di pihak yang batil," tandasnya.
Menurut dia, insiden Cikeusik, Pandeglang, Banten, merupakan skenario Ahmadiyah untuk mengkambinghitamkan organisasi massa.

Presiden SBY pun menanggapi serius ancaman tersebut. Dalam wawancara dengan stasiun televisi SCTV, Presiden SBY menegaskan, "Tidak semudah itu lantas Indonesia pasti akan menjadi [seperti] Mesir. Termasuk yang mengancam saya, awas Indonesia kita Mesirkan! Jangan ancam-mengancam lah. Dan kondisinya berbeda."
Partai Demokrat pun bereaksi keras. "Negara tidak akan tunduk pada ancaman. Silakan polisi mengambil langkah hukum, baik preventif ataupun represif," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, saat dihubungi VIVAnews.com. "Kalau negara tunduk pada ormas, di mana wibawa negara?"

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan, bila benar terbukti ada ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat seperti tindakan subversif atau makar, maka polisi tidak boleh ragu menegakkan hukum. "Saya harap polisi tidak ragu-ragu. Jika ada perlawanan, polisi bisa minta bantuan kepada TNI, baik sektor teritorial maupun intelijen," ujar Ramadhan.

Menurutnya, apabila ancaman itu dinyatakan di depan publik secara terbuka, maka polisi jelas tidak bisa tinggal diam. Pembantu-pembantu Presiden seperti Kapolri, Menkumham, dan Mendagri juga harus bertindak cepat. "Jangan lemah dan tunduk terhadap ancaman. Ini bukan soal politik, tapi soal keamanan masyarakat," tandas Ramadhan.

Ia menambahkan, pernyataan SBY tentang perlunya pembubaran ormas anarkis, sebetulnya tidak berarti ada ormas tertentu yang serta-merta akan dibubarkan. Ramadhan mengatakan, untuk kepentingan masyarakat, UU memang membolehkan pembubaran ormas yang terus-menerus memproduksi kekerasan dan menciptakan ketidakaturan serta instabilitas. "Tapi untuk sampai ke pembubaran, harus dikaji lebih dalam lagi," tuturnya.

Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan hal senada. Pernyataan Presiden soal kemungkinan pembubaran ormas yang melanggar hukum, hanya dilakukan untuk keadaan yang khusus bila fakta empiris telah tersedia.

"Tidak boleh ada ruang bagi kekerasan di negeri ini, baik itu dilakukan oleh organisasi atau individu. Bila terdapat tindakan yang mengakibatkan munculnya disorder (kekacauan) dan kekerasan, maka di titik itulah pemerintah akan bertindak demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Tapi, tidak dengan serta-merta," jelas Julian.
Ia mengatakan, pembubaran ormas baru akan dilakukan apabila terdapat bukti dan fakta hukum yang telah diverifikasi bahwa ormas terkait memang melakukan tindakan yang melanggar hukum. "Bisa dihentikan atau dibubarkan, tapi harus ada alasannya."
Oleh karena itu, ia meminta ormas manapun untuk tidak merasa dikambinghitamkan dalam peristiwa kekerasan beruntun pekan lalu. "Presiden [dalam pernyataannya] tidak menunjuk pada satu organisasi, tapi siapapun dan apapun entitasnya," tegasnya lagi.

***

Mengenai pembubaran ormas, pemerintah sebenarnya sudah lama memiliki peraturan organik menjalankan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur pembekuan dan pembubaran organisasi massa.

Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa (Kesbang) Kementerian Dalam Negeri, Mayor Jenderal (purnawirawan) Tanri Bali Lamo, menjelaskan kepada VIVAnews, bahwa ada PP Nomor 18 Tahun 1986 untuk menjalankan UU Ormas.

Tanri mengatakan, ormas-ormas itu memang dibina pemerintah. Ormas tingkat nasional dibina oleh Menteri Dalam Negeri, tingkat provinsi oleh Gubernur, kota oleh Walikota dan kabupaten oleh Bupati. "Kalau ormas mengganggu ketertiban umum, suku, ras, dan sebagainya memang dapat dibubarkan," katanya.

Aturan itu terdapat dalam pasal 18 PP tersebut. Namun, pembekuan atau pembubaran tidak bisa serta merta dilakukan. Tahap pertama, jika terjadi syarat untuk pembekuan atau pembubaran, Pemerintah mengeluarkan teguran dulu yang berlaku sampai 10 hari.

"Kalau masih tidak memperbaiki diri, nanti diberi teguran kedua yang juga 10 hari berlaku," katanya. "Kalau tidak berubah juga, dibekukan,"
Pembekuan itu didasarkan saran dari pihak terkait. Untuk Mendagri, minta pendapat Mahkamah Agung.(tian43a)